JAKARTA –Media Indonesia Times | Analis Politik senior Dr.Rahman Sabon Nama (RSN) mengingatkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bahwa situasi keamanan di Papua semakin mencekam, prajurit TNI semakin banyak gugur akibat gempuran KKB serta kini jaminan keamanan rakyat menjadi langka dan kedaulatan negara terancam.
RSN mengingatkan pada pemerintahan Jokowi bahwa penyanderaan pilot Susi Air Mr. Philip Mark Merthenz dijadikan sebagai instrumen dan komoditas politik oleh gembong KKB Egianus Kagoya untuk mendapatkan dukungan politik internasional atas kemerdekaan Papua.
Dari laporan yang diketahuinya, lanjut RSN bahwa paska penyanderaan pilot Susi Air, kelompok separatis KKB pada 15 April 2023 kembali melakukan penyanderaan pada masyarakat di Distrik Mugi dan Distrik Paru.
“Itu mereka lakukan dengan ancaman dibawah todongan senjata dengan
tuntutan untuk melakukan referendum jajak pendapat rakyat oleh gembong teroris separatis KKB Egianus Kagoya,” ujar RSN pada Rabu (26/4/2023).
Menyikapi situasi terbaru di Papua tersebut Alumnus Lemhanas RI itu mendesak presiden Jokowi selaku Panglima Tertinggi TNI/Polri untuk bersikap tegas agar operasi penegakan hukum oleh polisi diganti dengan operasi militer untuk melindungi rakyat dan menjaga keutuhan wilayah kedaulatan RI.
“Sebagai payung hukum untuk melakukan operasi militer maka perlu segera ada keputusan politik antara pemerintah/presiden dan DPR untuk memberlakukan UU TNI Nomor 34 tahun 2004,” pinta RSN.
Terkait tuntutan refetendum, RSN meminta pemerintah untuk tidak memberikan toleransi apapun. Oleh karena itu, menurutnya, sebaiknya Menkopolhukam, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI untuk melakukan pencegahan dari dukungan internasional atas tuntutan referendum dengan memberikan penjelasan pada seluruh kedutaan besar Indonesia di seluruh dunia untuk melakukan sosialisasi bahwa Referendum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua (Act of Free Choice) sudah dilakukan lewat Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa PBB No. 2504.
“Bahwa Penentuan Pendapat Rakyat Papua PEPERA sudah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement yang mengamanatkan agar pelaksanaan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua harus dilaksanakan sebelum tahun 1969.
Maka pada tgl 22 Agustus 1968 Sekjen PBB mengutus seorang wakilnya yaitu Dr. Fernando Ortiz Sans asal Bolivia datang ke Papua/Irian Barat untuk merealisasikan apa yang tertuang dalam pasal XX New York Agreement yaitu pelaksanaan PEPERA,” papar sosok yang juga Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) itu.
Ketika pelaksanaan dilakukan PEPERA atau jejak pendapat penentuan nasib sendiri penduduk Irian Barat/Papua diperkirakan jumlah penduduk Papua 800.000 jiwa, maka setiap 750 jiwa memiliki satu wakil dalam Dewan Musyawarah PEPERA di 8 kabupaten.
“Pada 24 Juli 1969 kabupaten Marauke ditunjuk menjadi tempat pertama pelaksanaan PEPERA dan berakhir di kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969.
Rincian pelaksanaan diselenggarakan PEPERA adalah Kabupaten Wamena dan Jayawijaya 16 Juli 1969, Kabupaten Nabire dan Paniai 19 Juli 1969, Kabupaten Fak-Fak 29 Juli 1969, Kabupaten Sorong 26 Juli 1969, Kabupaten Manokwari 29 Juli 1969 dan Biak kabupaten Teluk Cendrawasih 31 Juli 1969,” sebutnya mendetail.
Menurut informasi langsung dari Papua bahwa masyarakat distrik Mugi, dan sebagian dari distrik Paru, dan kampung-kampung sekitarnya, dimobilisasi dengan ancaman todongan senjata untuk menyerang 36 pasukan prajurit TNI dari Kostrad dan Kopasus yang ditempatkan di pos keamanan distrik Mugi.
RSN meminta Menkopolhukam, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI segera melakukan koordinasi untuk menyelamatkan masyarakat sipil Mugi dan sekitarnya, terutama perempuan dan anak-anak yang dikerahkan bergerak dari berbagai sisi untuk menyerang aparat keamanan.
“Menurut catatan bahwa perkiraan masyarakat sipil yang tertembak sudah mencapai lebih kurang angka 500-1000 jiwa. Apabila ada ratusan atau ribuan masyarakat sipil dijadikan tameng KKB dikhawatirkan akan tertembak oleh aparat TNI,” ucapnya prihatin.
Karena itu, RSN meminta agar pemerintah juga segera mencegah keterlibatan negara asing. “Yaitu China Tiongkok, Kanada, Selandia Baru, Australia, Inggris, Israel dan Amerika Serikat, yang selalu memainkan isu Papua di Pasifik dengan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menegakkan prinsip hukum internasional Responsibility to Protect, dalam bentuk intervensi kemanusian di Papua,” pungkas pria asal pulau Adonara NTT itu. (***)