Pandaan – Media Indonesia Times | Pemerintah Provinsi Jawa Timur kembali menunjukkan komitmennya terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan dengan mengungkapkan detail penggunaan Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP).
Transparansi biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP), adalah bentuk atensi dan sumbangsih nyata Pemerintah Provinsi Jawa Timur, untuk aktivitas dunia pendidikan, teknis operasionalnya tertuang dalam pergub 33 Tahun 2019.
Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP) juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur digunakan untuk kegiatan dan aktivitas dunia pendidikan yang tidak bisa dicover dari anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Pusat.
Pengaturan operasionalnya yang telah tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2019, yang menjadi dasar bagi alokasi dana untuk kegiatan pendidikan yang tidak dapat ditutup oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Namun, sejak tahun 2022, terjadi perubahan signifikan dalam pengelolaan anggaran BPOPP. Semula, Kepala Sekolah SMA/SMK/SLB, baik negeri maupun swasta, dapat langsung mengelola dana ini melalui Kantor Cabang Dinas Pendidikan (Kacabdin) dan Dinas Pendidikan (Dispendik) Provinsi Jawa Timur.
Perubahan ini menciptakan kekhawatiran terkait potensi penyimpangan dan praktek tidak transparan dalam penggunaan anggaran.
Isu ini menjadi sorotan utama dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Koorwil Jawa Timur di Graha Taman Chandra Wilwatikta Pandaan. Dalam forum tersebut, tema utama yang diangkat adalah “Mengkaji Kembali Anggaran Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP) dan Peran Kepala Sekolah sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.
Menurut Heru Satriyo, ketua LSM MAKI Koorwil Jawa Timur mengacu pada Pergub 33 tahun 2019 dalam pasal 7 untuk anggaran Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP) terlihat dengan jelas menjadi domain Kepala Sekolah (KS), yang memang sangat mengerti dan memahami retorika kegiatan dunia pendidikan di sekolah masing-masing dan kemudian kepala sekolah (KS) harus mengusulkan terlebih dahulu ke Kantor Cabang Dinas (Kacabdin)
Heru juga menyatakan keprihatinannya terhadap pergeseran pengelolaan anggaran yang berpotensi menimbulkan dugaan penyimpangan.
Menurutnya, perubahan ini dapat menyebabkan praktek pemotongan dana sebesar 10-12% oleh oknum di Kantor Cabang Dinas Pendidikan.
“Berdasarkan Pergub 33 Tahun 2019 Pasal 7, pengelolaan BPOPP seharusnya menjadi domain Kepala Sekolah yang lebih memahami kebutuhan dan prioritas di sekolahnya. Namun, pengelolaan yang melibatkan Kacabdin berisiko menimbulkan ketidakakuratan dan mark-up anggaran,” jelas Heru Satriyo.
Ia juga menambahkan bahwa Kepala Sekolah mampu memberikan laporan pertanggungjawaban yang komprehensif dan jelas, seperti yang terbukti dalam penggunaan dana BOS.
“Terbukti secara formal bahwa Laporan Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ Bendahara), penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya sangat jauh lebih besar dari Biaya Penunjang Operasional Penyelenggara Pendidikan (BPOPP), para Kepala Sekolah (KS) mampu menyuguhkan format laporan yang komprehensif dengan basis Laporan Pertanggungjawaban Bendahara (LPJ Bendahara), penggunaan anggaran yang jelas” terang Heru Satriyo.
Menurut Heru, Kacabdin harusnya lebih fokus ke arah melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan lewat struktural tim yang dibentuk sesuai Pergub 33 tahun 2019.
“Adanya kebijakan yang sangat jomplang antara tunjangan yang diterima KS dan pengawas sekolah dari Kacabdin menjadi trigger utama apabila disangkutpautkan ketika pengelolaan dana BPOPP dilakukan Kacabdin,”.pungkasnya.
(Bagas)