Seluruh wartawan Media Indonesia Times namanya masuk di Box redaksi Klik Disini Untuk Indormasi dan Hak Jawab Klik Ini.
Accept
Media Indonesia TimesMedia Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Advertise
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Reading: Gandrung, Identitas Budaya, dan Polemik Estetika dalam Ruang Publik
Share
Sign In
Notification Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Umum
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Advertise
© 2022 Media Indonesia Times
Media Indonesia Times > Blog > Opini > Gandrung, Identitas Budaya, dan Polemik Estetika dalam Ruang Publik
Opini

Gandrung, Identitas Budaya, dan Polemik Estetika dalam Ruang Publik

Idham Holid
Uploader Idham Holid
Share
7 Min Read

Oleh : Syafaat

Saya membuka grup WhatsApp lentera budaya dan menemukan unggahan yang menarik perhatian. Seorang perempuan cantik bertubuh semampai bukan asal Banyuwangi sedang menari sendirian dengan penuh semangat, mengenakan kostum Gandrung, tetapi tanpa ompyog (mahkota khas Gandrung). Tarian yang ia bawakan bukan Gandrung pada umumnya. Ia bergerak spontan mengikuti irama musik koplo yang mengalun dari sound horeg diatas truk, sementara penonton di sekitarnya tertawa dan menikmati pertunjukan tersebut.

Seperti biasa, unggahan semacam ini memicu beragam reaksi netizen. Ada yang menganggapnya biasa saja, tetapi ada pula yang merasa risih, bahkan sedikit emosi. Beberapa komentar menilai aksi tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap kostum Gandrung, yang memiliki nilai historis dan sakral. Mereka berpendapat bahwa kostum Gandrung seharusnya dikenakan dalam konteks yang sesuai, bukan sekadar pakaian untuk menari diiringi musik yang jauh dari akar tradisinya.

Saya sendiri memilih untuk tidak ikut berkomentar dalam diskusi panas itu. Perbedaan cara pandang kerap kali membawa seseorang ke dalam perdebatan yang tiada ujung. Bisa jadi saya akan dianggap tidak mengerti atau kurang menghormati budaya, hanya karena mencoba memahami kedua sisi perdebatan, atau dianggap membela sang penari karena berwajah cantik.

Bagi masyarakat Banyuwangi, Gandrung bukan sekadar tarian untuk menyambut wisatawan atau mengisi panggung hiburan. Tarian ini memiliki akar sejarah yang dalam, yang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan rakyat Osing melawan kolonialisme.

Gandrung muncul sebagai salah satu bentuk perlawanan dengan belenggu kolonial yang kreatif. Pada masa lalu, tarian ini menjadi strategi rakyat untuk menyamar dan mengumpulkan informasi dari penjajah. Selain itu, ada ritual tertentu yang harus dijalani oleh seorang penari sebelum benar-benar bisa disebut sebagai Gandrung, salah satunya adalah meras—sebuah ritual inisiasi yang menandai kelahiran seorang penari Gandrung yang harus melalui tahapan panjang, mulai dari belajar tari sejak kecil, melewati prosesi ritual, hingga akhirnya diakui oleh masyarakat. Seorang penari Gandrung juga memiliki kode etik dalam berpenampilan dan menampilkan tarian. Oleh karena itu, wajar jika ada sebagian orang yang merasa tidak nyaman melihat kostum Gandrung dipakai dalam konteks yang kurang sesuai.

Berita Lainnya :  Opini: Kita Harus Segera Memberangus Praktik "Bank Plecit" di Banyuwangi ?

Namun, zaman telah berubah. Gandrung kini lebih fleksibel dan terbuka terhadap berbagai inovasi. Ada Gandrung Marsan yang dikemas lebih teatrikal, Gandrung Nusantara yang dikolaborasikan dengan tarian daerah lain, hingga Gandrung yang masuk ke dalam format pertunjukan modern seperti festival dan parade budaya.

Tetapi, seberapa jauh fleksibilitas ini bisa diterima oleh masyarakat? Apakah ketika kostum Gandrung dikenakan tanpa menyajikan tarian Gandrung, hal itu masih dianggap sebagai bentuk apresiasi, atau justru dianggap sebagai pemerkosaan budaya?

Polemik seperti ini bukan hanya terjadi pada Gandrung. Banyak bentuk kesenian tradisional lain yang mengalami benturan serupa. Misalnya, busana adat wilayah tertentu yang dikenakan dalam fashion show tanpa ritual yang seharusnya, atau pakaian adat yang digunakan dalam pertunjukan yang tidak berkaitan dengan kebudayaan daerah tersebut.

Fenomena ini menunjukkan adanya perbedaan cara pandang dalam masyarakat. Sebagian orang berpendapat bahwa budaya harus dijaga keasliannya dan tidak boleh diperlakukan sembarangan. Namun, ada pula yang melihatnya sebagai bentuk ekspresi spontan individu dan dinamika zaman yang tak bisa dihindari, seperti sang penari yang gagal pingin segera menari musik koplo tanpa memperdulikan dia sedang berpakaian apa.

Dalam kasus perempuan yang menari dengan kostum Gandrung diiringi musik koplo, kita bisa melihat dua perspektif:

Pertama dari sisi pelestarian budaya, hal ini bisa dianggap sebagai tindakan yang kurang menghormati nilai historis dan sakralitas Gandrung. Kostum Gandrung bukan sekadar pakaian biasa, tetapi memiliki makna tersendiri dalam budaya Banyuwangi. Jika dikenakan di luar konteksnya, apalagi dalam pertunjukan yang terkesan asal-asalan, hal itu bisa menurunkan marwah dan keistimewaan tarian ini.

Kedua dari sisi ekspresi seni, tarian adalah bentuk kebebasan berekspresi. Musik koplo yang identik dengan spontanitas dan hiburan rakyat tanpa pakem memang kerap membangkitkan semangat seseorang untuk menari. Jika seorang perempuan kebetulan mengenakan kostum Gandrung lalu terbawa suasana untuk menari, apakah itu berarti ia sengaja melecehkan budaya? Bisa jadi tidak. Mungkin, itu hanya spontanitas belaka.

Berita Lainnya :  Pilkada Berkualitas Dibangun dengan Etika Bukan dengan Isu Hukum

Seiring perkembangan zaman, budaya memang mengalami transformasi. Gandrung yang dulu eksklusif, kini lebih terbuka untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk pertunjukan. Tetapi, sejauh mana batasan perubahan itu bisa diterima?

Pertanyaan ini mengingatkan kita pada diskusi yang lebih luas tentang “budaya yang berkembang” versus “budaya yang harus dijaga keasliannya.” Dalam banyak kasus, budaya yang terlalu kaku justru sulit berkembang dan akhirnya ditinggalkan generasi muda. Namun, jika terlalu bebas, dikhawatirkan nilai-nilai inti dari budaya itu sendiri akan hilang.

Kasus perempuan yang menari dengan kostum Gandrung diiringi musik koplo bisa menjadi refleksi bagi kita semua, apakah kita masih memiliki standar yang jelas tentang bagaimana budaya kita harus dihormati. Dan bagaimana cara kita menyampaikan kritik terhadap fenomena ini tanpa terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif?

Dalam realitas sosial, fenomena seperti ini akan terus terjadi. Tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang nilai budaya, dan tidak semua orang sadar akan makna mendalam di balik simbol budaya tertentu.maka, alih-alih terjebak dalam debat yang tak berujung, mungkin yang lebih bijak adalah dengan terus memberikan edukasi tentang budaya secara santun dan inklusif. Jika seseorang tidak memahami nilai-nilai di balik kostum Gandrung, mungkin itu karena kurangnya edukasi, bukan karena niat buruk.

Pada akhirnya, budaya adalah milik bersama. Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan budaya dengan cara yang tetap menghormati akar sejarahnya. Namun, di sisi lain, kita juga harus bijak dalam memahami dinamika zaman yang terus berubah.

Apakah perempuan itu salah karena menari spontan dengan kostum Gandrung? Bisa jadi ya, bisa juga tidak, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Yang jelas, fenomena ini memberi kita pelajaran bahwa budaya bukan hanya soal mempertahankan tradisi, tetapi juga soal bagaimana kita memahami dan menyikapinya dengan bijaksana. (Syaf)

Berita Lainnya :  Sepakat untuk Tidak Sepakat: Seni Berdiskusi di Tengah Perbedaan
Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print
Berita Sebelumnya Polres Malang Terjunkan Tim Tanggap Bencana Tangani Longsor di Jalur Wisata Bromo
Berita Baru Update Polresta Banyuwangi Edukasi Pelajar SMPN 2 Kalipuro tentang Bijak Bermedia Sosial
Leave a comment Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Stay Connected

235.3kFollowersLike
69.1kFollowersFollow
11.6kFollowersPin
56.4kFollowersFollow
136kSubscribersSubscribe
4.4kFollowersFollow
- Advertisement -
Ad imageAd image

Berita Yang Mungkin Anda Cari :

Opini

Selamat Pulang: Ketika Lontar Yusuf Mengajarkan Cara Menjadi Tua

18/06/2025
Opini

Ketika Netizen Menyalip Wartawan di Tikungan

15/06/2025
Opini

Digitalisasi Pelayanan Publik: Janji Manis Tanpa Rasa?

14/06/2025
Opini

Menyoal 100 Hari Kerja Periode Kedua Benyamin Davnie – Pilar Saga Ichsan Membangun Kota Tangerang Selatan

04/06/2025
Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
Follow US
© 2022 PT. Media Blambangan News | Media Indonesia Times
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?