Banyuwangi – Media Indonesia Times| Di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok, pendapatan petani dan nelayan yang merosot, serta UMKM yang masih terseok pascapandemi, warga Banyuwangi justru mendapat kabar mengejutkan: Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) akan naik tiga kali lipat atau 200%.
Rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi menaikkan tarif PBB dari yang semula menerapkan multi tarif berubah menjdi single tarif berdasarkan saran dari Kemendagri untuk tujuan efisien dan meringkas laporan yang rumit.
Dari tarif yang semula 0,1% untuk NJOP 10 juta hingga 1 Milyar kini berubah menjadi 0,3% melalui perubahan Raperda perubahan Perda Nomor 1 Tahun 2024 membuat beban pajak warga melonjak hingga 200%. Kenaikan ini dinilai memberatkan pemilik rumah, sawah, kebun, hingga para pensiunan yang kategorinya masyarakat menengah kebawah.
Aktivis muda Banyuwangi, Choirul Hidayanto, menilai kebijakan ini tidak memiliki kepekaan sosial dan minim empati.
“Saat rakyat masih berjuang untuk bertahan hidup, kebijakan seperti ini justru menambah beban. Pemkab seharusnya mencari solusi kreatif untuk menambah PAD tanpa mengorbankan rakyat kecil,” tegasnya.
Gelombang penolakan pun muncul dari berbagai kalangan masyarakat yang mendesak Pemkab Banyuwangi membatalkan perubahan Raperda PBB dan memilih kebijakan pajak yang adil, transparan, serta berpihak pada rakyat kecil.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah semua Pejabat baik dari Eksekutif dan Legislatif yang turut bertanggungjawab akan hal ini mengatakan bahwa tidak ada kenaikan Pajak PBB, “hal ini tidak disampaikan dengan jelas dan sebenarnya kepada Publik bahwa memang tahun ini SPPT Pajak PBB yang sudah terdistribusi ke Desa-Desa tidak mengalami kenaikan dan baru akan diterapkan untuk Tahun 2026”.
Redaksi MIT.