Banyuwangi -Media Indonesia Times| Isu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Banyuwangi terus membuat masyarakat bingung. Pemerintah kabupaten melalui Plh. Sekda Guntur Priambodo dan Kepala Badan Pendapatan Daerah Samsudin menyatakan tidak ada kenaikan. Namun, fakta di lapangan berbeda: warga menerima tagihan yang lebih tinggi.
“Kenapa bukan Bupati Banyuwangi sendiri yang menjelaskan? Bukankah yang memiliki kewenangan penuh soal naik turunnya pajak adalah Bupati?” tegas Rifki, pengacara muda Banyuwangi.
Menurut Rifki, polemik ini muncul karena ketidakjujuran eksekutif dan legislatif. Mereka mengklaim tidak ada kenaikan, padahal Perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi No. 1 Tahun 2024 Pasal 9 jelas menaikkan tarif PBB-P2. Jika sebelumnya tarifnya berjenjang.
NJOP ≤ Rp1 miliar: 0,1% per tahun
NJOP Rp1–5 miliar: 0,2% per tahun
NJOP ≥ Rp5 miliar: 0,3% per tahun
kini diubah menjadi tarif flat 0,3% untuk semua, tanpa membedakan si kaya dan si miskin.
“Eksekutif dan legislatif berbelit-belit. Mereka menyalahkan rekomendasi Kementerian Dalam Negeri, padahal semua tahu bahwa kewenangan perda ada di tangan Bupati dan DPRD Banyuwangi sendiri,” lanjut Rifki.
Di tengah kondisi ekonomi sulit dan daya beli rakyat menurun, kebijakan seperti ini justru menambah beban rakyat kecil. Di mana empati para pejabat kepada masyarakatnya?
Rifki berharap, demonstrasi Forum Banyuwangi Bergerak pada 25 Agustus 2025 berjalan damai, tidak terjadi benturan seperti di Kabupaten Pati. “Saya juga akan bergabung dalam aksi tersebut,” tegasnya.
Pesannya jelas: Cabut dan batalkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi No. 1 Tahun 2024. Jika Bupati terus bungkam, keresahan warga bisa berubah menjadi gelombang penolakan besar. Banyuwangi butuh kepemimpinan yang tegas, bukan diam di tengah kebingungan rakyatnya.
Penulis: (T@ta)
Redaksi MIT.