Seluruh wartawan Media Indonesia Times namanya masuk di Box redaksi Klik Disini Untuk Indormasi dan Hak Jawab Klik Ini.
Accept
Media Indonesia TimesMedia Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Advertise
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Reading: Jangan Biarkan Perahu Kita Karam
Share
Sign In
Notification Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Umum
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Advertise
© 2022 Media Indonesia Times
Media Indonesia Times > Blog > Opini > Jangan Biarkan Perahu Kita Karam
Opini

Jangan Biarkan Perahu Kita Karam

Idham Holid
Uploader Idham Holid
Share
8 Min Read

Oleh: Syafaat

Negeri ini bukan sekadar tanah, bukan sekadar udara dan batu. Ia adalah kekasih yang bernapas, yang menangis dalam senja dan tersenyum di fajar. Ia lahir dari darah yang meresap ke bumi, dari keringat yang menempel di batu-batu, dari rintihan sunyi yang dipanjatkan dalam doa. Para pendahulu kita mencintainya dengan pengorbanan yang tak masuk akal: senjata seadanya, perut keroncongan, tubuh ringkih, tapi hati mereka membara, tekad mereka lebih keras dari baja. Dari penderitaan dan cinta itu, lahirlah rumah bernama Indonesia, sebuah hati yang kita jaga bersama, yang kita rawat dengan harapan dan doa yang tak pernah padam.
Rumah itu berdiri di atas kesepakatan bersama, cinta yang disepakati semua hati. Bahasa kita satu, nasib kita satu, perbedaan bukan alasan untuk terpisah. Suku-suku yang ratusan jumlahnya, budaya yang bertubrukan di perempatan sejarah, keyakinan yang kadang berbeda bahkan bertolak belakang, semuanya dipayungi oleh satu kata yang lebih besar daripada ego: Indonesia. Di rumah itu, setiap suara adalah bisikan cinta, setiap langkah adalah tarian hati, setiap tangan yang terulur bukan untuk diri sendiri semata, tetapi untuk menahan dinding tetap tegak, agar atap tak roboh, agar jiwa rumah tetap hangat. Rumah ini bukan sekadar bangunan, tapi tubuh kekasih yang kita peluk bersama, yang kita sayangi, yang setiap retaknya terasa seperti luka di hati kita sendiri.
Perbedaan diolah menjadi harmoni rapuh namun indah, seperti sungai yang mengalir di antara batu-batu berwarna, menyatu tanpa kehilangan bentuk masing-masing. Bahasa yang satu bukan sekadar kata, tetapi rindu yang diamini bersama; nasib yang satu bukan sekadar nasib individu, tetapi nasib kolektif yang menuntut pengorbanan, perhatian, dan kesadaran bahwa runtuhnya satu bagian akan menimpa seluruh rumah. Rumah ini menuntut kesabaran, keberanian mengakui kesalahan, kebijaksanaan menahan amarah, kasih untuk menambal setiap retak dengan kelembutan. Indonesia bukan sekadar nama, bukan sekadar tanah dan air, melainkan kekasih yang jiwa-jiwanya kita rawat bersama, sejarahnya menjadi doa panjang, harapannya cahaya yang tak pernah padam meski badai terus datang.
Tetapi rumah ini, betapapun megah, tak pernah selesai sekali jadi. Selalu ada genteng yang rembes ketika hujan, dinding yang merekah dimakan waktu, kayu yang lapuk bila penghuninya hanya sibuk menolong diri sendiri. Menjaga rumah ini adalah menjaga hati kita sendiri; keruntuhannya adalah patah hati kita, keutuhannya adalah kebahagiaan yang kita bagi bersama.
Pada malam sunyi, ketika lampu padam dan jangkrik bernyanyi, terbayang kekasih bernama Indonesia, dibangun dengan tergesa sekaligus cinta yang membara. Tiangnya kokoh namun belum dipoles, dinding menjulang tapi kasar, atap tegak meski banyak genteng belum rapat. Tergesa itu bukan semata ingin berteduh, tetapi karena luka yang ingin segera diobati dengan persatuan, karena hati yang ingin segera dimiliki bersama. Rumah itu dibangun dari bahan seadanya tapi dengan doa yang tak putus, bata rapuh diperkuat harapan, kayu basah dipanaskan semangat. Ia berdiri bukan hanya sebagai tempat berteduh, tetapi sebagai pernyataan: bangsa ini memilih mencintai bersama, meski fondasinya belum sempurna, retakan kecil selalu muncul, dan hanya dengan kesabaran serta ketulusan rumah itu bisa bertahan.
Hari-hari berlalu. Rumah itu semakin ramai. Anak-anak lahir, cucu-cucu tumbuh. Ada yang rajin membersihkan, ada yang menumpang tidur. Ada yang menyumbang bata, ada yang mencuri kayu. Rumah besar itu mulai retak. Retakan kecil, awalnya bisa ditambal tipis, lama-lama dibiarkan. Kita terlalu sibuk. Terlalu lelah. Terlalu mementingkan diri sendiri.
Kadang negeri ini bukan rumah, tapi perahu yang berlayar di samudra luas, laut yang tak pernah tenang, sesekali hanya beriak kecil, tiba-tiba badai menghadang. Perahu itu bernama Indonesia. Kapal-kapal megah berlayar di sekitarnya, dengan layar menjulang, mesin modern, nahkoda terdidik. Sedangkan perahu kita sederhana: kayu sederhana, layar tambal dari kain lusuh, tali kadang putus, kemudi retak. Namun dengan perahu rapuh inilah pelayaran ditempuh, badai ditantang, gelombang dihadapi, keselamatan tercapai bukan karena keelokan kapal, tapi karena kebersamaan penumpang, doa yang dipanjatkan, dan keyakinan akan arah tujuan.
Sejarah menuliskan, perahu bernama Indonesia ini pernah oleng, nyaris karam. Namun selalu muncul tangan-tangan yang menambal celah dengan kesetiaan, bahu-bahu yang memikul beban dengan keikhlasan. Badai tidak pernah pergi, ombak terus silih berganti, tapi perahu itu tetap bertahan. Rahasianya: keyakinan dan cinta yang melingkupi setiap penumpang. Perahu tetap berlayar meski retak, dengan cahaya harapan yang tak pernah padam.
Masalah muncul bukan dari laut, bukan dari badai, tetapi dari kita yang ada di dalam perahu. Kita sibuk bertikai, berebut kemudi, tarik layar, saling menyalahkan. Ketika retakan muncul, tak ada yang menambalnya. Kita terlalu sibuk membuktikan siapa yang lebih pantas menjadi nahkoda, padahal kekasih ini menangis pelan di setiap retak yang kita abaikan.
Di era digital, perpecahan tumbuh cepat. Media sosial menjadi pasar riuh sekaligus arena yang menelanjangi manusia. Ada anak muda yang bunuh diri karena dibuli komentar, ada yang diperas karena rekamannya tersebar. Dunia maya, awalnya jendela kebebasan, berubah menjadi ruang penyiksaan. Retakan perahu hari ini bukan hanya politik dan ekonomi, tapi juga dari sikap kita: jari-jari yang mengetik terlalu cepat, mulut yang ringan menghina, hati yang tipis empati.
Kita tidak ingin hanya meratap. Retakan bisa ditambal. Rumah bisa diperbaiki, perahu dikuatkan kembali. Caranya sederhana tapi tidak mudah: dengan kebersamaan, dengan cinta yang tulus. Ambil semen kesadaran, pasir kesabaran, air pengertian, lalu tambal dinding rumah kita. Jika perahu bocor, ambil papan persaudaraan, paku dengan tekad bersama, ikat dengan cinta, ia akan kuat kembali. Menambal retakan bukan pekerjaan satu orang. Semua harus bergerak. Semua harus turun tangan.
Bayangkan Indonesia sebagai kekasih yang kita cintai dengan seluruh jiwa. Kekasih yang menangis ketika retakan muncul, tersenyum ketika tangan kita menambal, yang berdebar ketika kita mengingatnya. Kekasih yang kita peluk dalam doa panjang, yang dulu dicintai para pejuang ketika darah menetes di tanah, yang dibisikkan para ibu ketika melepas anak berperang. Kekasih ini, yang kita warisi, belum selesai kita cintai, tapi terus kita jaga.
Indonesia adalah perahu itu, rumah itu, kekasih itu. Mungkin tak sebesar kapal modern, tapi punya cerita panjang, daya tahan, dan jiwa yang tak mudah karam. Musuh sejati bukan sesama awak, tetapi badai, ombak, dan bajak laut di luar sana. Perahu ini, bagaimanapun keadaannya, adalah rumah kita. Rumah, betapapun rapuh, selalu layak kita jaga bersama. Jangan biarkan ia runtuh hanya karena kita sibuk mengeluhkan retakan kecil tapi enggan menambalnya. Rumah ini milik kita semua. Perahu ini milik kita semua. Negeri ini milik kita semua.
Dan pada akhirnya, sebagaimana doa dan cinta yang tidak pernah putus, kita hanya bisa berserah, berharap perahu ini, betapapun retak, tetap membawa kita berlayar hingga sampai ke pantai tujuan, dengan kekasih di hati yang selalu menuntun, dengan cinta yang tak pernah surut, dan dengan harapan yang menyalakan lampu di gelapnya samudra.

Berita Lainnya :  Perlukah Guru Dilindungi Hukum Lebih Jelas?

Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print
Berita Sebelumnya Tokoh Lintas Ormas Adat dan Polda Kalsel Ajak Warga Jaga Kondusifitas di Daerah
Berita Baru Update Doa Bersama Lintas Agama, Forkopimda Banyuwangi Teguhkan Komitmen Jaga Kedamaian
Leave a comment Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Stay Connected

235.3kFollowersLike
69.1kFollowersFollow
11.6kFollowersPin
56.4kFollowersFollow
136kSubscribersSubscribe
4.4kFollowersFollow
- Advertisement -
Ad imageAd image

Berita Yang Mungkin Anda Cari :

Opini

Malam Mupus Braen Blambangan: Anugerah Cinta dalam Doa yang Disamarkan

25/09/2025
Opini

Miras & Narkotika, Bukan Sekadar Larangan Agama

23/09/2025
Opini

Korupsi Makan-Minum Fiktif: Hidangan Busuk dari Dapur Birokrasi

21/09/2025
Opini

Ayat-ayat Tuhan di Langit Jember

16/09/2025
Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
Follow US
© 2022 PT. Media Blambangan News | Media Indonesia Times
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?