Seluruh wartawan Media Indonesia Times namanya masuk di Box redaksi Klik Disini Untuk Indormasi dan Hak Jawab Klik Ini.
Accept
Media Indonesia TimesMedia Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Advertise
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Reading: September dan Luka yang Tertinggal Dibawah Bendera Setengah Tiang
Share
Sign In
Notification Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Umum
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Advertise
© 2022 Media Indonesia Times
Media Indonesia Times > Blog > Opini > September dan Luka yang Tertinggal Dibawah Bendera Setengah Tiang
Opini

September dan Luka yang Tertinggal Dibawah Bendera Setengah Tiang

Idham Holid
Uploader Idham Holid
Share
5 Min Read

oleh : Syafaat

September kerap datang dengan wajah muram, seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan ini bukan hanya mengantarkan perubahan musim, melainkan juga membuka kembali luka lama bangsa ini. Luka yang tak pernah benar-benar sembuh, meski sering kita coba tutup dengan cerita lain. Ia selalu datang dengan tanda: bendera yang berhenti di tengah tiang.
Bendera setengah tiang bukan sekadar kain merah putih yang diturunkan. Ia adalah bahasa sunyi bangsa yang sedang berkabung. Ia berbicara tanpa suara, namun setiap mata yang menatapnya tahu: ada duka yang sedang dikenang, ada darah yang pernah tumpah, ada nyawa yang hilang dalam gelap sejarah. Ia adalah doa dalam diam, doa yang tak diucapkan dengan lisan, melainkan digantung di udara.
Ingatan itu kembali menuntun kita pada masa ketika bangsa ini masih rapuh. Tidak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan, persaudaraan belum cukup erat untuk menahan gelombang perpecahan, saling tekan, saling tikam, saling rebut kuasa, seolah-olah kemerdekaan yang baru lahir itu hanyalah selembar kertas tanpa pengikat batin.
Para pendiri bangsa sebenarnya sudah mewariskan jalan damai, mereka sadar Indonesia terlalu luas dan terlalu beragam untuk dipaksa dengan satu warna saja. Maka lahirlah konsensus: lima dasar yang kita sebut Pancasila. Ia bukan sekadar hasil rapat politik, melainkan kesepakatan suci yang lahir dari perdebatan panjang, air mata, dan doa. Ia adalah rumah bersama, jalan tengah yang merangkul semuanya. Seperti Piagam Madinah di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyatukan etnis dan beragam agama yang saat itu hidup berdampingan di Madinah, Pancasila berdiri untuk memastikan kehidupan bersama tidak runtuh hanya karena perbedaan, namun sejarah tak selalu berjalan di jalan damai. September 1965 menjadi bab kelam, sebuah ideologi hendak dipaksakan dengan senjata. Kudeta pecah, darah tumpah, kekuasaan berubah, banyak yang dibunuh, banyak yang hilang, banyak yang dikuburkan dalam diam. Bangsa ini, sekali lagi, belajar dengan harga yang mahal.
Di Banyuwangi, ujung timur Jawa, luka itu menjelma peristiwa memilukan. Dusun Cemetuk, yang hari ini tampak seperti desa biasa dengan sawah dan kebun, pernah menjadi kuburan massal dalam satu liang, puluhan tubuh ditelan satu lubang besar. Tanah menutup wajah-wajah yang semestinya masih bisa tersenyum pada orang tua atau anak-anak mereka, tidak ada doa, tidak ada perpisahan, hanya keheningan yang panjang. Dan di atas tanah itu, setiap kali bendera dinaikkan setengah tiang, seakan jiwa-jiwa yang terkubur ikut berbicara: jangan ulangi lagi.
Bahaya dari ideologi yang meniadakan Tuhan adalah hilangnya rasa takut pada kehidupan setelah mati. Agama, dalam wujud apapun, selalu mengingatkan manusia bahwa dunia ini hanya persinggahan. Ada pengadilan yang lebih tinggi menanti di akhirat, kesadaran itu menahan manusia dari berbuat zalim, tetapi ketika keyakinan itu hilang, manusia bisa berubah menjadi serigala yang lapar: menindas, merampas, membunuh, dan menganggap semuanya selesai di bumi.
Bangsa yang lupa pada Tuhan akan mudah hancur dari dalam. Dan bangsa yang hancur dari dalam akan cepat dikuasai dari luar. Penjajahan hari ini tidak lagi berupa senapan atau rantai besi, melainkan jerat hutang, kuasa modal, dan kendali kebijakan, apa arti merdeka jika keputusan negeri ditentukan oleh bangsa lain? Apa arti bendera berkibar penuh jika jiwa bangsa hanya menjadi titipan orang asing?
Karena itu, setiap September, ketika bendera diturunkan setengah tiang, seharusnya bukan hanya tubuh yang hening sejenak, tetapi juga jiwa yang merenung. Ia adalah panggilan agar bangsa ini tidak lupa pada sejarahnya, agar anak-anak negeri tidak tumbuh dengan warisan dendam, tetapi dengan warisan kebijaksanaan. Ia adalah pengingat bahwa harga kemerdekaan terlalu mahal untuk dipertaruhkan hanya demi ambisi ideologi atau perebutan kuasa.
Sejarah mengajarkan bahwa luka bisa sembuh, tetapi bekasnya tidak pernah hilang. Luka Cemetuk, luka 1965, luka tubuh-tubuh yang dikubur tanpa nisan, semuanya adalah tanda agar kita tidak lengah, tanda bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah, hanya meninggalkan generasi yang tumbuh dengan rasa curiga.
Maka September bukan sekadar bulan dalam kalender. Ia adalah doa yang terus dipanjatkan, doa yang berkibar setengah tiang, doa agar bangsa ini tetap teguh dalam persaudaraan, tetap kokoh dalam iman, dan tetap setia pada janji para pendiri.
Allah sudah berfirman:
> “Janganlah kamu merasa lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman.”
(QS. Ali Imran: 139)
Maka mari kita tundukkan kepala, memanjatkan doa yang sama setiap kali melihat bendera berhenti di tengah tiang:
Ya Allah, jangan biarkan bangsa ini kembali jatuh pada luka yang sama. Satukan kami dalam iman, kuatkan kami dalam persaudaraan, dan teguhkan langkah kami dalam menjaga rumah besar bernama Indonesia.

Berita Lainnya :  Perayaan Agustus dan Alarm Sosial untuk Kesehatan dan Lingkungan

Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print
Berita Sebelumnya Atlet Dojang Kodim 0829/Bangkalan Raih 3 Emas 2 Perak di Kejuaraan Internasional Piala Panglima TNI
Berita Baru Update Petakan Potensi Kerawanan Gangguan Kamtib, Petugas Lapas Banyuwangi Lakukan Pengecekan Secara Menyeluruh pada Area Lapas
Leave a comment Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Stay Connected

235.3kFollowersLike
69.1kFollowersFollow
11.6kFollowersPin
56.4kFollowersFollow
136kSubscribersSubscribe
4.4kFollowersFollow
- Advertisement -
Ad imageAd image

Berita Yang Mungkin Anda Cari :

Opini

Kita Tidak Pernah Benar-benar Mengenalnya

11/10/2025
Opini

Tepuk Sakinah Bimbingan Perkawinan dan Mulut Netizen

26/09/2025
Opini

Malam Mupus Braen Blambangan: Anugerah Cinta dalam Doa yang Disamarkan

25/09/2025
Opini

Miras & Narkotika, Bukan Sekadar Larangan Agama

23/09/2025
Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
Follow US
© 2022 PT. Media Blambangan News | Media Indonesia Times
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?