oleh : Syafaat
September kerap datang dengan wajah muram, seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan ini bukan hanya mengantarkan perubahan musim, melainkan juga membuka kembali luka lama bangsa ini. Luka yang tak pernah benar-benar sembuh, meski sering kita coba tutup dengan cerita lain. Ia selalu datang dengan tanda: bendera yang berhenti di tengah tiang.
Bendera setengah tiang bukan sekadar kain merah putih yang diturunkan. Ia adalah bahasa sunyi bangsa yang sedang berkabung. Ia berbicara tanpa suara, namun setiap mata yang menatapnya tahu: ada duka yang sedang dikenang, ada darah yang pernah tumpah, ada nyawa yang hilang dalam gelap sejarah. Ia adalah doa dalam diam, doa yang tak diucapkan dengan lisan, melainkan digantung di udara.
Ingatan itu kembali menuntun kita pada masa ketika bangsa ini masih rapuh. Tidak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan, persaudaraan belum cukup erat untuk menahan gelombang perpecahan, saling tekan, saling tikam, saling rebut kuasa, seolah-olah kemerdekaan yang baru lahir itu hanyalah selembar kertas tanpa pengikat batin.
Para pendiri bangsa sebenarnya sudah mewariskan jalan damai, mereka sadar Indonesia terlalu luas dan terlalu beragam untuk dipaksa dengan satu warna saja. Maka lahirlah konsensus: lima dasar yang kita sebut Pancasila. Ia bukan sekadar hasil rapat politik, melainkan kesepakatan suci yang lahir dari perdebatan panjang, air mata, dan doa. Ia adalah rumah bersama, jalan tengah yang merangkul semuanya. Seperti Piagam Madinah di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyatukan etnis dan beragam agama yang saat itu hidup berdampingan di Madinah, Pancasila berdiri untuk memastikan kehidupan bersama tidak runtuh hanya karena perbedaan, namun sejarah tak selalu berjalan di jalan damai. September 1965 menjadi bab kelam, sebuah ideologi hendak dipaksakan dengan senjata. Kudeta pecah, darah tumpah, kekuasaan berubah, banyak yang dibunuh, banyak yang hilang, banyak yang dikuburkan dalam diam. Bangsa ini, sekali lagi, belajar dengan harga yang mahal.
Di Banyuwangi, ujung timur Jawa, luka itu menjelma peristiwa memilukan. Dusun Cemetuk, yang hari ini tampak seperti desa biasa dengan sawah dan kebun, pernah menjadi kuburan massal dalam satu liang, puluhan tubuh ditelan satu lubang besar. Tanah menutup wajah-wajah yang semestinya masih bisa tersenyum pada orang tua atau anak-anak mereka, tidak ada doa, tidak ada perpisahan, hanya keheningan yang panjang. Dan di atas tanah itu, setiap kali bendera dinaikkan setengah tiang, seakan jiwa-jiwa yang terkubur ikut berbicara: jangan ulangi lagi.
Bahaya dari ideologi yang meniadakan Tuhan adalah hilangnya rasa takut pada kehidupan setelah mati. Agama, dalam wujud apapun, selalu mengingatkan manusia bahwa dunia ini hanya persinggahan. Ada pengadilan yang lebih tinggi menanti di akhirat, kesadaran itu menahan manusia dari berbuat zalim, tetapi ketika keyakinan itu hilang, manusia bisa berubah menjadi serigala yang lapar: menindas, merampas, membunuh, dan menganggap semuanya selesai di bumi.
Bangsa yang lupa pada Tuhan akan mudah hancur dari dalam. Dan bangsa yang hancur dari dalam akan cepat dikuasai dari luar. Penjajahan hari ini tidak lagi berupa senapan atau rantai besi, melainkan jerat hutang, kuasa modal, dan kendali kebijakan, apa arti merdeka jika keputusan negeri ditentukan oleh bangsa lain? Apa arti bendera berkibar penuh jika jiwa bangsa hanya menjadi titipan orang asing?
Karena itu, setiap September, ketika bendera diturunkan setengah tiang, seharusnya bukan hanya tubuh yang hening sejenak, tetapi juga jiwa yang merenung. Ia adalah panggilan agar bangsa ini tidak lupa pada sejarahnya, agar anak-anak negeri tidak tumbuh dengan warisan dendam, tetapi dengan warisan kebijaksanaan. Ia adalah pengingat bahwa harga kemerdekaan terlalu mahal untuk dipertaruhkan hanya demi ambisi ideologi atau perebutan kuasa.
Sejarah mengajarkan bahwa luka bisa sembuh, tetapi bekasnya tidak pernah hilang. Luka Cemetuk, luka 1965, luka tubuh-tubuh yang dikubur tanpa nisan, semuanya adalah tanda agar kita tidak lengah, tanda bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah, hanya meninggalkan generasi yang tumbuh dengan rasa curiga.
Maka September bukan sekadar bulan dalam kalender. Ia adalah doa yang terus dipanjatkan, doa yang berkibar setengah tiang, doa agar bangsa ini tetap teguh dalam persaudaraan, tetap kokoh dalam iman, dan tetap setia pada janji para pendiri.
Allah sudah berfirman:
> “Janganlah kamu merasa lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman.”
(QS. Ali Imran: 139)
Maka mari kita tundukkan kepala, memanjatkan doa yang sama setiap kali melihat bendera berhenti di tengah tiang:
Ya Allah, jangan biarkan bangsa ini kembali jatuh pada luka yang sama. Satukan kami dalam iman, kuatkan kami dalam persaudaraan, dan teguhkan langkah kami dalam menjaga rumah besar bernama Indonesia.
Penulis adalah Ketua Lentera Sastra Banyuwangi