Seluruh wartawan Media Indonesia Times namanya masuk di Box redaksi Klik Disini Untuk Indormasi dan Hak Jawab Klik Ini.
Accept
Media Indonesia TimesMedia Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Advertise
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Reading: Menata Ulang Arah Pembangunan Kota Depok : Dari Kota Transit Menuju Kota Peradaban
Share
Sign In
Notification Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Umum
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Advertise
© 2022 Media Indonesia Times
Media Indonesia Times > Blog > Opini > Menata Ulang Arah Pembangunan Kota Depok : Dari Kota Transit Menuju Kota Peradaban
Opini

Menata Ulang Arah Pembangunan Kota Depok : Dari Kota Transit Menuju Kota Peradaban

Idham Holid
Uploader Idham Holid
Share
11 Min Read
Ket photo : Chikal Akmalul Fauzi Ketua Umum PC IMM Kota Depok. ( Istimewa dok MIT).

Oleh : Chikal Akmalul Fauzi
Ketua Umum PC IMM Kota Depok

Selama dua dekade terakhir, Kota Depok mengalami pertumbuhan yang luar biasa pesat. Gedung-gedung menjulang di sepanjang Margonda, pusat perbelanjaan bermunculan, dan arus kendaraan seolah tak pernah berhenti melintasi jalan-jalan utama kota.

Namun, di balik dinamika itu, muncul pertanyaan mendasar yang sepatutnya direnungkan bersama: apakah Depok benar-benar sedang membangun sebuah kota, atau sekadar memperluas ruang transit dari Jakarta?

Pertanyaan ini penting, sebab kota bukan sekadar ruang geografis yang dipenuhi aktivitas ekonomi dan infrastruktur fisik. Kota adalah organisme sosial yang seharusnya hidup oleh nilai, budaya, partisipasi warga, dan cita-cita bersama. Pembangunan yang sejati bukan sekadar beton dan jalan, melainkan pembentukan peradaban yakni bagaimana manusia yang tinggal di dalamnya menjadi semakin berdaya, berpengetahuan, dan beretika.
Di titik inilah, arah pembangunan Depok perlu ditata ulang agar tidak terjebak dalam logika “kota penyangga” yang sibuk melayani kebutuhan ibu kota, tetapi kehilangan jati diri dan karakter lokalnya sendiri.

Depok memiliki modal besar untuk menjadi kota yang maju secara intelektual, ekonomi, dan budaya. Di kota ini berdiri berbagai perguruan tinggi besar seperti Universitas Indonesia, dan sejumlah kampus swasta yang melahirkan ribuan anak muda kreatif setiap tahun. Sayangnya, potensi intelektual itu belum sepenuhnya menjadi bagian dari denyut pembangunan kota. Depok seolah hidup di antara dua wajah: wajah modern dengan fasilitas urban dan mobilitas tinggi, serta wajah sosial yang masih dibayang-bayangi kesenjangan, kemacetan, banjir, dan tata kota yang belum manusiawi.

Pembangunan yang selama ini cenderung menitikberatkan pada proyek fisik jalan, jembatan, trotoar, dan taman belum dibarengi dengan investasi sosial yang memadai. Kota memang tampak tumbuh, tetapi belum sepenuhnya berkembang. Pembangunan yang beradab menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh, di mana manusia menjadi pusatnya. Pemerintah perlu menempatkan warga bukan sekadar sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek yang ikut menentukan arah kota. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan harus menjadi prinsip utama, bukan sekadar pelengkap administratif. Ruang-ruang dialog antara pemerintah dan warga perlu dibuka lebih luas, agar kebijakan yang lahir benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Di sisi lain, politik lokal Depok juga harus berevolusi dari sekadar arena perebutan kekuasaan menjadi ruang perumusan nilai dan gagasan. Politik kota mestinya tidak berhenti pada slogan dan janji pembangunan, tetapi hadir sebagai praksis etika publik. Pembangunan kota yang bermartabat hanya dapat lahir dari politik yang jujur, transparan, dan berorientasi pelayanan. Saat politik dijalankan dengan semangat pengabdian, maka kebijakan publik akan tumbuh dari nurani, bukan dari kepentingan elektoral jangka pendek. Depok membutuhkan kepemimpinan yang bukan hanya pandai membangun fisik kota, tetapi juga sanggup menumbuhkan kesadaran kolektif warganya untuk hidup dalam harmoni, gotong royong, dan tanggung jawab sosial.

Berita Lainnya :  Darurat Narkoba: Pemkab Banyuwangi Langgar Aturan Buatannya Sendiri!

Dalam bidang ekonomi, tantangan Depok terletak pada bagaimana mengubah struktur ekonomi konsumtif menjadi ekonomi produktif. Selama ini, geliat ekonomi kota banyak bertumpu pada sektor jasa dan perdagangan konsumsi rumah tangga, sementara sektor kreatif, UMKM, dan ekonomi berbasis komunitas belum mendapatkan dukungan kebijakan yang sistematis. Padahal, Depok memiliki sumber daya manusia muda yang sangat potensial untuk mengembangkan ekonomi digital, wirausaha sosial, hingga industri kreatif berbasis pengetahuan. Pemerintah daerah perlu membangun ekosistem yang kondusif bagi tumbuhnya ekonomi berbasis nilai tambah—bukan hanya menyediakan lapak, tetapi juga memperkuat jejaring, riset, dan inovasi.

Pembangunan kota yang beradab juga tak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Depok bukan ruang kosong; ia memiliki sejarah, identitas, dan karakter yang khas sebagai kota yang tumbuh dari tradisi Betawi dan Sunda, serta kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam dan pendidikan. Dalam pusaran urbanisasi yang cepat, budaya lokal sering tersisih oleh gaya hidup konsumtif dan homogenitas metropolitan. Karena itu, revitalisasi kebudayaan lokal perlu menjadi bagian integral dari visi pembangunan. Ruang publik yang inklusif dan sarat nilai edukatif harus diperbanyak: taman baca, galeri seni, ruang diskusi komunitas, dan event budaya warga. Dari sanalah kota bisa menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan warganya.

Arah besar pembangunan Depok sejatinya harus diarahkan pada satu cita-cita: menjadi kota peradaban. Kota peradaban bukan berarti kota yang sempurna, melainkan kota yang berproses menuju kematangan sosial, di mana pertumbuhan fisik berjalan beriringan dengan pertumbuhan moral, intelektual, dan spiritual masyarakatnya. Kota yang seperti ini tidak dibangun hanya dengan anggaran dan proyek, tetapi dengan visi, nilai, dan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, akademisi, pelaku ekonomi, seniman, dan masyarakat sipil harus saling berjejaring untuk menjadikan Depok lebih dari sekadar tempat tinggal—melainkan ruang hidup yang bermakna.

Depok tidak boleh puas menjadi “kota penyangga” selamanya. Ia harus berani menulis sejarahnya sendiri sebagai kota yang mandiri dan berkarakter. Menata ulang arah pembangunan berarti menata ulang cara berpikir: dari logika pertumbuhan menuju logika keberlanjutan, dari pembangunan yang sibuk mengejar citra menuju pembangunan yang menumbuhkan peradaban. Hanya dengan cara itu, Depok bisa benar-benar menjadi kota yang hidup oleh nilai, bukan sekadar berdiri oleh bangunan.

Berita Lainnya :  Berebut Peran Saat Kemenangan

Menjadi kota peradaban menuntut Depok untuk memiliki arah pembangunan yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan ekologis. Kota tidak boleh terus dibangun dengan semangat kompetisi tanpa arah, seolah-olah pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur adalah satu-satunya indikator kemajuan. Padahal, ukuran sejati dari kemajuan sebuah kota terletak pada seberapa bahagia dan berdayanya warga yang tinggal di dalamnya. Jika pembangunan hanya menghasilkan gedung tinggi, jalan lebar, dan pusat belanja megah, namun meninggalkan ketimpangan sosial dan keterasingan budaya, maka kota tersebut sesungguhnya sedang kehilangan jiwanya.

Dalam konteks ini, Depok perlu melakukan reorientasi pembangunan menuju keseimbangan antara manusia, alam, dan kebijakan. Ruang terbuka hijau yang menurun, kualitas udara yang memburuk, serta pengelolaan sampah yang masih menjadi pekerjaan rumah menunjukkan bahwa pembangunan ekologis belum sepenuhnya menjadi arus utama. Kota yang sehat adalah kota yang menyediakan oksigen bagi warganya, bukan hanya dalam arti fisik, tetapi juga dalam arti sosial: ruang untuk bernafas, berinteraksi, dan berkreasi. Depok harus memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan memperhatikan daya dukung lingkungan dan hak generasi mendatang untuk hidup dalam kota yang lestari.

Lebih jauh, pembangunan Depok juga menuntut keadilan spasial dan pemerataan antarwilayah. Terlalu lama Margonda dan sekitarnya menjadi pusat perhatian pembangunan, sementara wilayah pinggiran seperti Bojongsari, Cipayung, dan Sawangan masih tertinggal dalam akses infrastruktur dan pelayanan publik. Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan kesenjangan fisik, tetapi juga psikologis—muncul perasaan “terpinggirkan” di kalangan warga yang tinggal jauh dari pusat kota. Kota peradaban tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Pemerintah perlu mengubah pola pembangunan yang sentralistik menjadi desentralistik, menghidupkan potensi setiap wilayah sesuai dengan karakter sosial dan ekonomi masyarakatnya.

Di tengah derasnya arus urbanisasi, Depok juga harus memikirkan kembali makna “kota layak huni.” Layak huni bukan sekadar tersedianya hunian vertikal atau akses transportasi, tetapi bagaimana kota menyediakan lingkungan sosial yang aman, ramah, dan saling peduli. Tingginya angka individualisme, penurunan interaksi sosial, serta munculnya berbagai bentuk intoleransi dan kekerasan sosial menjadi alarm bahwa pembangunan manusia belum seimbang dengan pembangunan fisik. Maka, perlu ada kebijakan yang mendorong rekonsolidasi sosial: memperkuat nilai-nilai gotong royong, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan warga kota.

Kehidupan budaya juga harus menjadi roh dari pembangunan Depok ke depan. Dalam sejarahnya, Depok dikenal sebagai kota yang melahirkan banyak tokoh pendidikan, cendekiawan, dan seniman. Potensi ini seharusnya menjadi dasar untuk membangun kota yang berkarakter dan kreatif. Pemerintah dapat mendorong program kebudayaan yang bersifat partisipatif, memberi ruang bagi seniman muda, komunitas literasi, dan pegiat budaya lokal untuk mengekspresikan diri. Festival budaya, ruang baca komunitas, teater rakyat, dan kegiatan seni jalanan bukan sekadar hiburan, melainkan sarana membangun identitas dan solidaritas sosial warga. Dari situ, peradaban kota akan menemukan nadinya—karena kota yang berbudaya adalah kota yang mampu merayakan keberagaman dan menumbuhkan rasa saling menghargai.

Berita Lainnya :  Sepakat untuk Tidak Sepakat: Seni Berdiskusi di Tengah Perbedaan

Sementara itu, sektor pendidikan harus menjadi jantung dari seluruh proses pembangunan. Dengan keberadaan kampus besar dan ribuan pelajar di setiap jenjang, Depok sesungguhnya memiliki kekuatan pengetahuan yang bisa menjadi fondasi bagi inovasi sosial. Pemerintah perlu membangun ekosistem yang menghubungkan dunia pendidikan dengan dunia kebijakan dan industri lokal. Mahasiswa dan akademisi tidak boleh hanya menjadi pengamat, tetapi turut dilibatkan dalam riset kebijakan, perencanaan kota, serta pemberdayaan masyarakat. Inilah bentuk nyata dari kota belajar (learning city), di mana pengetahuan bukan hanya dikurung di ruang kelas, tetapi hidup dan bekerja untuk kesejahteraan publik.

Arah pembangunan Depok yang berorientasi peradaban juga memerlukan keberanian politik untuk menolak praktik pembangunan yang instan dan transaksional. Dalam banyak kasus, pembangunan kota sering kali dikendalikan oleh logika proyek—di mana ukuran keberhasilan diukur dari serapan anggaran, bukan dari dampak sosial. Padahal, pembangunan sejati adalah proses panjang yang berakar pada nilai, kesabaran, dan keberlanjutan. Pemimpin Depok di masa depan perlu memahami bahwa membangun kota bukan hanya soal membangun sekarang, tetapi juga soal menjamin kehidupan esok. Ia harus memiliki visi yang melampaui masa jabatan dan keberanian untuk menata prioritas berdasarkan kepentingan jangka panjang warga, bukan kepentingan jangka pendek politik.

Menata ulang arah pembangunan Depok berarti mengembalikan esensi kota kepada manusianya. Kota yang baik bukan yang paling cepat tumbuh, tetapi yang paling mampu memanusiakan penghuninya. Depok, dengan sejarah, posisi strategis, dan potensi sumber daya manusianya, memiliki kesempatan besar untuk menjadi kota peradaban yang sejati—kota yang tak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat tumbuhnya nilai, dialog, dan kemajuan. Dari Depok, Indonesia bisa belajar bahwa membangun kota bukan tentang memperbanyak gedung, melainkan tentang menumbuhkan kehidupan. Dan di sanalah, sejatinya, peradaban dimulai.

Redaksi MIT.

Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print
Berita Sebelumnya Sinergi Lintas Sektoral di Blimbingsari: Kades dan TNI-Polri Dukung Peningkatan Layanan Puskesmas Badean
Berita Baru Update Eko Sukartono: Dinas Kesehatan Harus Responsif dan Berpihak pada Masyarakat
Leave a comment Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Stay Connected

235.3kFollowersLike
69.1kFollowersFollow
11.6kFollowersPin
56.4kFollowersFollow
136kSubscribersSubscribe
4.4kFollowersFollow
- Advertisement -
Ad imageAd image

Berita Yang Mungkin Anda Cari :

Opini

Kita Tidak Pernah Benar-benar Mengenalnya

11/10/2025
Opini

September dan Luka yang Tertinggal Dibawah Bendera Setengah Tiang

29/09/2025
Opini

Tepuk Sakinah Bimbingan Perkawinan dan Mulut Netizen

26/09/2025
Opini

Malam Mupus Braen Blambangan: Anugerah Cinta dalam Doa yang Disamarkan

25/09/2025
Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
Follow US
© 2022 PT. Media Blambangan News | Media Indonesia Times
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?