Surabaya – Media Indonesia Times | Aksi demo dan pernyataan sikap dari sejumlah Elemen Collaboration yaitu Gempar Jatim, MAKI Jatim, AMI, Gerak Jatim, dan APMI, termasuk pengacara, pengusaha, dan petani, mendesak Dinas Koperasi dan UKM Jawa Timur untuk menjelaskan dugaan kecurangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang mereka selenggarakan, pada Kamis (14/8/2025).
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan Dinas Koperasi, para peserta tidak hanya mengungkap adanya dugaan penyimpangan dalam proses mini kompetisi pengadaan, tetapi juga mengekspresikan kekhawatiran mendalam tentang integritas sistem pengadaan secara keseluruhan.
Salah satu kejanggalan yang disorot adalah adanya pemenang tender yang mengajukan penawaran dengan harga yang identik persis dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), yang seharusnya menjadi alat untuk mendorong transparansi dan persaingan yang adil.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai sejauh mana proses pengadaan ini dilakukan dengan alur yang benar, dan apakah kepentingan publik benar-benar diutamakan.
Ada nada skeptis yang jelas di antara para peserta mengenai apakah keputusan ini mencerminkan praktik yang fair atau justru memunculkan indikasi kuat adanya penyimpangan.
“Kalau harganya persis sama dengan HPS, tanpa negosiasi, itu mustahil terjadi secara wajar,” ujar salah satu perwakilan AMI (Aliansi Madura Indonesia).
Menyoroti pentingnya mekanisme negosiasi yang sering kali menjadi titik lemah dalam pengadaan. “Prinsip dalam peraturan pengadaan barang dan jasa sangat jelas, harus ada negosiasi untuk mendapatkan harga terbaik dan terendah. Tanpa proses ini, kita berisiko menciptakan monopoli yang merugikan banyak pihak,” imbuhnya.
Dengan demikian, upaya menjaga keadilan dalam kompetisi harus menjadi perhatian utama, bukan hanya formalitas belaka. Selain itu, ketika mereka menelusuri lebih dalam, ditemukan pula bahwa pada dua paket kegiatan penyelenggaraan acara, pemenangnya adalah perusahaan yang sama.
Dari hasil penelusuran menunjukkan bahwa perusahaan tersebut kerap memenangkan pengadaan langsung di Dinas Koperasi, hal ini tidak hanya menggugah rasa curiga, tetapi juga memberikan sinyal kuat tentang kemungkinan adanya kolusi yang berpotensi merugikan kompetitor lain.
Sistem pengadaan yang ideal seharusnya bertujuan untuk memberdayakan semua pelaku usaha, bukan menguntungkan segelintir orang atau kelompok. Praktik semacam ini jelas menghambat prinsip persaingan sehat dalam pengadaan, menciptakan keraguan di kalangan pengusaha yang jujur dan berdampak pada iklim investasi di daerah tersebut, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi lokal.
“Kami tidak ingin memotong rezeki siapa pun, tapi aturan harus dijalankan sesuai regulasi,” tegasnya, menambahkan nuansa kekhawatiran bahwa praktek tidak adil ini bisa merusak integritas sistem pengadaan.
“Indikasi main mata sangat kuat, bahkan berpotensi pada tindak pidana korupsi dan nepotisme,” ungkapnya, menyoroti betapa seriusnya dugaan ini.
Sementara Heru Satriyo Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jatim, mempertegas bahwa pernyataan ini menekankan betapa pentingnya bagi semua pihak untuk bertindak transparan dan akuntabel, agar masyarakat tetap percaya bahwa semua proses pengadaan dilakukan demi kepentingan bersama.
Pihak Dinas Koperasi yang hadir dalam pertemuan tersebut disebut memberikan jawaban ambigu, dengan tidak membenarkan maupun membantah proses pengadaan yang dipersoalkan.
Padahal, menurut Perpres Nomor 12 Tahun 2021 dan perubahannya, serta aturan teknis lainnya, fungsi negosiasi adalah menurunkan harga untuk efisiensi anggaran negara. Ketidakjelasan dan kebingungan yang ditimbulkan ini menciptakan keraguan lebih lanjut terhadap akuntabilitas Dinas Koperasi dalam menjalankan tugasnya.
“Tentu saja, situasi ini akan membuat masyarakat semakin beralih dan skeptis terhadap kemampuan instansi pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Kalau klik langsung (direct appointment) ke satu perusahaan, itu diperbolehkan. Tapi ini mini kompetisi dengan banyak peserta, kok harganya tetap sama persis dengan HPS? Itu luar biasa aneh,” ungkap Heru.
Heru juga menambahkan bahwa dalam hal ini menunjukkan perlunya evaluasi yang lebih mendalam terhadap mekanisme pengadaan yang ada. Hal ini menyoroti keperluan untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam proses pengadaan agar semua peraturan dan prosedur diikuti dengan benar.
“Evaluasi ini penting tidak hanya untuk mendeteksi praktek curang, tetapi juga untuk menjaga prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi yang menjadi dasar dalam pengadaan barang dan jasa,” katanya.
Lanjut Heru, ia juga menuding bahwa kegiatan bimbingan teknis (bimtek) yang digelar Dinas Koperasi hanya menjadi kedok untuk mengelabui proses tender. Mereka menilai alasan pihak dinas yang hanya menekankan faktor kualitas tanpa mempertimbangkan harga adalah bentuk penyimpangan dari ruh pengadaan barang dan jasa, yang seharusnya mengutamakan harga terbaik dan efisien. Ini menunjukkan ketidakpuasan mereka dengan klaim bahwa kualitas adalah satu-satunya aspek yang perlu diperhatikan, membuat mereka mempertanyakan kejujuran dan integritas proses seleksi yang ada.
“Hal ini menimbulkan keraguan terhadap niat baik dari Dinas, sekaligus mendorong elemen masyarakat untuk terus berjuang demi proses pengadaan yang lebih bersih dan adil. Keberlanjutan dari semua ini adalah harapan untuk menciptakan suatu sistem yang dapat memberikan kesempatan yang setara bagi semua pihak yang ingin berkontribusi dalam pembangunan daerah,” pungkasnya. (Bagas)