Oleh : Syafaat
(Pendamping Kafilah Kab. Banyuwangi)
Langit malam itu seakan menuliskan ayat-ayat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Sejak awal saya tidak mengira bahwa Musabaqah Tilawatil Qur’an provinsi Jawa Timur ke XXXI bisa dihadirkan dengan cara seperti itu, dengan cahaya-cahaya yang menari di udara, dengan huruf-huruf yang seolah jatuh dari langit, dengan kalimat yang tidak bersuara tapi justru lebih dalam menembus hati. Bagi sebagian orang mungkin itu hanya atraksi teknologi, hanya permainan lampu dari ratusan drone yang dikendalikan komputer. Namun bagi saya, itu adalah tanda, itu adalah isyarat, itu adalah ayat yang lain. Ayat yang tidak ditulis dengan tinta, tidak dibacakan dengan suara, melainkan dilukiskan dengan cahaya, dipamerkan di langit, dan ditinggalkan di hati.
Malam itu saya belajar sesuatu: bahwa firman Tuhan tidak pernah bisa dibatasi. Mushaf adalah rumahnya, tilawah adalah suaranya, hafalan adalah bentengnya, tetapi hakikat firman Tuhan selalu mencari jalan untuk mendekati manusia. Kadang ia hadir dalam lantunan anak kecil yang terbata, kadang dalam suara tua yang parau, kadang dalam doa lirih seorang ibu yang memeluk anaknya, dan malam itu firman itu hadir dalam cahaya, menari di langit Jember. Saya tahu, cinta kepada kitab suci bukan sekadar hafalan. Hafalan bisa hilang, bisa terlupa, bisa salah urutan. Tetapi cinta yang menempel di dada tidak akan hilang, ia akan terus menyala bahkan ketika lidah tidak mampu melafalkan lagi.
Ketika saya melihat anak-anak kafilah yang saya dampingi tertidur di kursi belakang mobil dalam perjalanan pulang, saya merasa seakan Tuhan sedang membisikkan sesuatu: bahwa tugas saya bukan hanya mengantar mereka ikut lomba, bukan hanya memastikan mereka tampil baik di hadapan dewan hakim, tetapi mengantar mereka berjalan di jalan panjang cinta kepada Al-Qur’an. Tilawah bisa dilombakan, tajwid bisa dinilai, suara bisa diperingkat, tetapi cinta tidak bisa diberi angka. Cinta hanya bisa ditumbuhkan, dirawat, dipelihara dengan doa dan kasih. Dan cinta itu yang harus menjadi bekal anak-anak ini, bukan hanya piala yang bisa berdebu di lemari.
Saya teringat pada sebuah kisah lama tentang seorang sufi. Ia tidak pandai membaca Al-Qur’an. Ia hanya bisa mengulang satu ayat, dengan suara yang parau, dengan bacaan yang tidak sempurna. Orang-orang menertawakannya, mencibirnya, menganggapnya tak pantas. Tetapi dalam mimpinya, sufi itu mendengar suara Tuhan yang mengatakan: “Aku lebih menyukai satu ayatmu yang penuh cinta daripada seribu ayat yang dibaca tanpa hati.” Malam itu saya merasa seperti sufi itu. Tidak ada suara, tidak ada tartil, hanya cahaya drone yang menulis huruf-huruf di langit. Tetapi justru dari situ hati saya tersentuh, lebih dalam daripada sekadar mendengar suara qari yang merdu.
Dan saya sadar, inilah hakikat cinta religius. Ia tidak butuh alasan panjang, tidak butuh penjelasan rumit. Cinta religius adalah ketika hati bergetar hanya karena mendengar satu ayat, atau melihat satu cahaya, atau merasakan satu sentuhan. Cinta religius adalah ketika seseorang berwudhu bukan karena ingin shalat, tetapi karena ia ingin wajahnya segar ketika menghadap Tuhan. Cinta religius adalah ketika seseorang menangis bukan karena sedang susah, tetapi karena ayat yang dibacanya tiba-tiba terasa seperti surat pribadi dari Tuhan yang ditujukan hanya untuknya.
Malam MTQ ke XXXI itu memang penuh keramaian, penuh musik, penuh parade. Tetapi yang tinggal di hati saya bukanlah gemerlapnya panggung, bukan pula suara pidato pejabat, melainkan saat-saat langit terbuka dan menuliskan huruf-huruf bercahaya. Saya yakin, bagi setiap orang yang menengadah malam itu, ada doa yang diam-diam terpanjat. Ada rasa yang sulit dijelaskan, rasa bahwa kita sedang dilihat oleh sesuatu yang lebih besar, rasa bahwa firman Tuhan selalu menemukan cara untuk turun ke bumi.
Saya teringat pada ibu saya, yang setiap malam membaca surat Yasin dengan suara lirih. Tidak pernah tartil sempurna, tidak pernah dengan suara merdu. Tetapi dari bibirnya saya belajar, bahwa membaca Al-Qur’an bukan untuk dipuji, bukan untuk didengar orang, melainkan untuk membuat hati lebih tenang. Cinta ibu kepada Al-Qur’an bukan hafalan yang panjang, melainkan kebiasaan sederhana yang dilakukan tanpa henti. Dari situlah saya tahu, bahwa cinta kepada kitab suci adalah soal kesetiaan, bukan soal kemampuan. Kesetiaan membuka mushaf, kesetiaan melafalkan ayat, kesetiaan mendengarkan bacaan orang lain, kesetiaan menundukkan hati ketika ayat dibacakan.
Dan kesetiaan itulah yang kadang hilang dalam kehidupan modern kita. Kita mudah terpesona pada lomba besar, pada suara merdu, pada panggung yang megah, tetapi lupa pada mushaf kecil yang sepi di pojok rumah. Kita sibuk mengejar juara, tetapi lupa membisikkan doa untuk anak-anak yang belajar terbata. Kita bangga dengan hafalan ribuan ayat, tetapi lupa menumbuhkan cinta yang sederhana. Padahal, tanpa cinta, hafalan akan kering. Tanpa cinta, tilawah hanya akan jadi nyanyian indah tanpa makna. Tanpa cinta, MTQ hanya akan jadi pesta besar yang segera terlupakan.
Cinta adalah inti dari semua ibadah. Ketika seseorang shalat tanpa cinta, ia hanya akan menghitung gerakan. Ketika seseorang berzikir tanpa cinta, ia hanya akan mengulang kata-kata. Tetapi ketika cinta hadir, shalat akan menjadi pertemuan, zikir akan menjadi percakapan, doa akan menjadi bisikan yang hangat. Dan malam itu, cinta hadir dalam bentuk cahaya.
Saya tidak tahu apakah bupati muda yang berjanji akan menghadirkan pembukaan istimewa menyadari hal itu. Mungkin baginya itu hanya strategi pencitraan, hanya cara untuk menunjukkan kebesaran acara. Tetapi bagi saya, justru di balik permainan cahaya itulah Tuhan menurunkan pelajaran. Bahwa firman-Nya tidak hanya terbatas pada lembaran, bahwa cinta bisa datang dari arah yang tak disangka-sangka. Bahkan dari drone yang dingin dan tanpa perasaan. Bukankah Tuhan memang sering menghadirkan kasih-Nya lewat jalan yang aneh, lewat kejadian yang sederhana, lewat orang-orang yang tidak kita kira?
Cinta religius juga sering datang dengan cara seperti itu. Kita tidak selalu jatuh cinta pada orang yang dekat. Kadang kita jatuh cinta pada seseorang yang hanya kita temui sekali. Kadang kita merasakan kedekatan spiritual dengan seseorang yang bahkan tidak kita kenal namanya. Dan dalam cinta religius, kita sadar bahwa rasa itu hanyalah pantulan dari cinta yang lebih besar: cinta Tuhan kepada makhluk-Nya.
Saya teringat sebuah kisah tentang Rabi’ah al-Adawiyah, seorang perempuan sufi besar. Ia pernah berdoa: “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena ingin surga, jauhkan aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, maka janganlah Kau haramkan aku dari keindahan-Mu.” Doa itu selalu membuat saya terdiam. Sebab di dalamnya ada keberanian untuk menyingkirkan semua imbalan, semua ketakutan, semua hitungan, dan hanya menyisakan cinta.
Bukankah itulah yang seharusnya menjadi inti dari MTQ, dari tilawah, dari hafalan, dari doa-doa yang kita panjatkan? Bahwa kita membaca bukan untuk lomba, bukan untuk juara, bukan untuk hadiah. Kita membaca karena cinta. Kita melafalkan karena cinta. Kita mengulang ayat-ayat itu karena cinta. Dan cinta itulah yang akan menuntun kita, meski suara kita parau, meski hafalan kita terbata, meski tartil kita tidak sempurna.
Ketika saya menuliskan ini, cahaya drone malam itu masih terbayang jelas di kepala saya. Huruf-huruf bercahaya itu masih menempel di hati saya. Mereka telah padam di langit, tetapi mereka masih menyala di dada saya. Dan mungkin memang begitu cara Tuhan bekerja: cahaya di langit hanya sebentar, tetapi cahaya di hati bisa bertahan lama, bahkan seumur hidup.
Saya membayangkan suatu hari nanti, anak-anak kafilah yang saya dampingi akan mengenang malam itu. Bukan karena megahnya panggung, bukan karena panjangnya pidato, tetapi karena mereka pernah menengadah dan melihat langit menulis ayat dengan cahaya. Dan mungkin dari kenangan itu, cinta mereka kepada Al-Qur’an akan tumbuh. Cinta yang sederhana, cinta yang tidak mencari juara, cinta yang tidak membutuhkan hadiah, tetapi cinta yang membuat mereka ingin terus membaca, terus mendekat, terus menundukkan hati.
Pada akhirnya, kemenangan sejati bukanlah ketika nama mereka diumumkan sebagai juara. Kemenangan sejati adalah ketika mereka tetap membuka mushaf meski tidak ada yang menilai, ketika mereka tetap melafalkan ayat meski tidak ada yang mendengarkan, ketika mereka tetap berdoa meski tidak ada yang mengaminkan. Kemenangan sejati adalah ketika mereka bisa meraih rida Tuhan melalui cinta yang tulus.
Dan saya percaya, doa yang lahir dari cinta tidak akan pernah padam. Ia akan terus menyala, bahkan setelah semua lampu stadion dipadamkan, bahkan setelah semua orang pulang, bahkan setelah semua lomba selesai. Doa itu akan tetap ada, menempel di hati, berjalan bersama kehidupan, menyinari jalan yang panjang.
Doanya sederhana: jangan berhenti membaca, meski tak bersuara. Jangan berhenti mencari, meski hanya lewat cahaya. Jangan berhenti mencinta, meski sebentar saja.
Dan saya tahu, doa itu akan terus menyala, bahkan setelah tulisan ini selesai.
Redaksi MIT.