Banyuwangi — Media Indonesia Times| Rumah Kebangsaan Karangrejo (RKBK) kembali memainkan perannya sebagai simpul strategis dialog antar elemen masyarakat. Pada Sabtu malam 12/4/2025, lembaga ini menggelar Halal Bihalal lintas tokoh, mempertemukan beragam figur dari unsur pemerintah, tokoh agama, organisasi masyarakat sipil, hingga pendidik. Bertempat di ruang pertemuan terbuka milik pendiri RKBK, kegiatan ini menjadi ruang kontemplatif dan konsolidatif pasca-Idulfitri.
Dengan dipandu oleh moderator M. Hakim Said, S.H., acara tersebut tak hanya bernuansa silaturahmi, tetapi juga forum pertukaran gagasan yang produktif. Dalam sambutannya, Asisten I Sekretaris Daerah Banyuwangi, M. Yanuar Bramudya, menggarisbawahi pentingnya peran masyarakat dalam kontrol kebijakan. “Pemerintah tidak selalu sempurna. Maka dari itu, kami butuh masyarakat yang hadir kritis, tapi dengan cara yang membangun. Itu esensi demokrasi,” ujarnya lugas.
Bramudya menolak menjadikan kegiatan tersebut sebagai seremoni biasa. Ia mendorong agar forum-forum serupa terus digelar sebagai bagian dari institusionalisasi budaya dialog. “Sinergi ini harus diwujudkan dalam praktik. Pemerintah dan masyarakat harus berjalan bersama, bukan saling curiga,” tambahnya.
Sementara itu, Wakapolresta Banyuwangi, AKBP Teguh Priyo Wasono, S.I.K., menyoroti pentingnya stabilitas sosial yang bersumber dari kepercayaan publik. Ia menyebut hadirnya masyarakat dalam forum lintas tokoh sebagai indikator positif. “Keterlibatan seperti ini menunjukkan ada ruang publik yang sehat. Kami di kepolisian tentu sangat menghargai bentuk kepercayaan ini,” kata Teguh.
Dari unsur Kementerian Agama, hadir Syafaat, me wakili kepala kantor kementerian agama kabupaten Banyuwangi, yang juga dikenal aktif dalam penguatan moderasi beragama. Bersamanya, kepala-kepala madrasah seperti Anwarudin dari MTsN 7 Banyuwangi dan Herny Nilawati dari MTsN 12 Banyuwangi turut memberikan perspektif. Mereka menegaskan bahwa madrasah tidak hanya mengajarkan dogma keagamaan, melainkan juga nilai-nilai kewargaan, toleransi, dan empati sosial. “Pendidikan keagamaan harus menjadi ruang tumbuhnya manusia Indonesia seutuhnya,” ujar Syafaat.
Dalam sesi refleksi kebangsaan, Ir. H. Wahyudi menekankan pentingnya kepemimpinan inklusif. “Pemimpin ideal bukan yang menguasai semua jawaban, tetapi yang mau mendengar semua suara,” katanya dalam nada tenang namun menggugah.
Acara ditutup dengan pembacaan doa oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banyuwangi. Usai doa, suasana berubah lebih cair dengan sesi ramah tamah, menyatukan beragam latar dalam satu meja.
Kebersamaan yang lahir dalam forum ini bukan semata simbolik. Ia menjadi narasi diam yang menyuarakan betapa pentingnya menjahit kembali tenun kebangsaan dengan benang toleransi dan penghargaan pada perbedaan. Sebuah afirmasi bahwa Banyuwangi bukan hanya tanah budaya, tapi juga laboratorium sosial bagi Indonesia yang lebih inklusif.
(Red)