Seluruh wartawan Media Indonesia Times namanya masuk di Box redaksi Klik Disini Untuk Indormasi dan Hak Jawab Klik Ini.
Accept
Media Indonesia TimesMedia Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Advertise
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Reading: Malam Mupus Braen Blambangan: Anugerah Cinta dalam Doa yang Disamarkan
Share
Sign In
Notification Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Politik
  • Peristiwa
  • Opini
Search
  • Home
  • Polri
  • TNI
  • Pemerintahan
  • Hukum Dan Kriminal
  • Olah Raga
  • Umum
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Advertise
© 2022 Media Indonesia Times
Media Indonesia Times > Blog > Opini > Malam Mupus Braen Blambangan: Anugerah Cinta dalam Doa yang Disamarkan
Opini

Malam Mupus Braen Blambangan: Anugerah Cinta dalam Doa yang Disamarkan

Idham Holid
Uploader Idham Holid
Share
5 Min Read

Cinta, rupanya, adalah tradisi. Ia bukan sekadar perasaan dua orang, melainkan doa leluhur, nasihat orang tua, dan harapan anak-anak yang belum lahir. Ia tumbuh dalam ritual kecil sehari-hari: menunggu dengan sabar, menjemput dengan ikhlas, memberi kabar dengan jujur, menahan amarah dengan rendah hati, dan memaafkan dengan tulus. Itu yang saya pelajari pada malam penutupan Festival Banyuwangi Tempo Dulu, ketika panggung mempersembahkan Mupus Braen Blambangan. Saya berdiri diam di akhir pertunjukan, sementara tepuk tangan orang lain menggema. Saya tahu, saya tidak sedang menonton tari-tarian. Saya sedang menonton tafsir tentang cinta.

Mupus Braen adalah puncak keindahan yang hanya sekali dilakukan dalam hidup: saat menikah. Mupus berasal dari pupus—daun muda di pucuk pohon: rapuh, segar, penuh harapan. Braen berarti indah, menawan, memesona. Maka ia adalah simbol cinta di puncaknya: muda, suci, dan agung.

Pengantin malam itu mengenakan pakaian merah dan hitam. Merah untuk keberanian, hitam untuk doa panjang agar langgeng. Di kepala, melati putih disematkan: tanda kesucian. Mahkota emas menambah wibawa. Saya menyadari, riasan itu bukan sekadar kosmetik. Ia adalah kitab yang dibaca dengan mata. Merah, hitam, putih, emas—semuanya doa. Cinta tidak cukup hanya dengan rasa. Ia butuh keberanian, doa, kesucian, dan keagungan. Betapa jauh bedanya dengan cinta-cinta di luar panggung: cinta yang tergesa, cinta yang cepat tumbuh lalu cepat layu, cinta yang berakhir sebelum sempat dirayakan. Mupus Braen mengajarkan hal sebaliknya—cinta adalah puncak yang dicapai lewat kesabaran.

Ada aturan yang unik: Mupus Braen hanya untuk anak bungsu. Saya bertanya, mengapa? Semakin saya renungi, semakin terasa bahwa ada filosofi tersembunyi: anak bungsu adalah akhir dari sebuah garis, penutup generasi. Mungkin itu simbol bahwa cinta sejati adalah yang terakhir, yang mengikat sepenuhnya, bukan lagi permainan atau percobaan.

Berita Lainnya :  Melawan Petahana dengan Menggiring Opini

Apakah itu berarti setiap orang memang ditakdirkan jatuh cinta berkali-kali sampai menemukan yang terakhir? Saya tidak tahu. Tetapi saya yakin, pada usia tertentu, cinta berhenti menjadi bunga liar. Ia menjelma pohon besar, menuntut akar dalam, memerlukan tanah subur, air, dan kesabaran panjang.

Selain riasan, tradisi ini juga membawa ubarampe: bantal, guling, tikar, ayam, telur, kelapa, kampil putih. Semua disertai doa. Semua membawa makna. Saya membayangkan, cinta juga membutuhkan ubarampe semacam itu. Bantal untuk beristirahat, guling untuk sandaran, tikar untuk kebersamaan, ayam dan telur untuk keberlangsungan hidup, kelapa untuk keteguhan, kampil putih untuk kesederhanaan.

Banyak orang menginginkan cinta yang indah, tetapi enggan mengumpulkan ubarampe. Padahal tanpa itu, cinta hanya pesta semalam, lalu padam saat lampu dipadamkan.

Saya teringat doa Nabi Muhammad saw. dalam pernikahan: “Semoga Allah memberkahimu, memberkahi atasmu, dan menghimpun kalian berdua dalam kebaikan.” Doa sederhana, tapi menyeluruh. Doa itu, barangkali, adalah ubarampe paling penting. Tuhan memahami semua bahasa, termasuk bahasa simbol. Di tanah Osing, setelah akad nikah, doa diiringi shalawat dan kembar mayang: dua rangkaian kembang dengan daun jambe, bunga yang biasa dipakai di pemakaman, dan buah-buahan. Semua itu adalah doa yang disamarkan, harapan agar pernikahan tidak dipisahkan kecuali oleh kematian, dan disatukan kembali di akhirat.

Saya teringat masa kecil. Di sekolah dasar, saya kerap dipanggil wong jowo kulon. Sebutan sederhana, tapi itu garis pemisah. Saya bukan Osing. Saya anak Jawa, lahir dari keluarga Mataraman yang datang dari barat: Tulungagung, Kediri, Jogja, entah dari mana lagi. Kata itu melekat begitu lama, membuat saya sering merasa hanya sedang singgah, meski akte kelahiran saya jelas terulis: lahir di Banyuwangi.

Berita Lainnya :  Tujuan Mulia Dibalik Imbauan Pelantikan Ipuk dan Mujiono

Namun malam itu, ketika gamelan ditabuh, ketika pengantin Mupus Braen memasuki panggung, saya merasa dipanggil pulang. Seakan ada meja besar terbentang, meja warisan leluhur, tempat semua orang boleh duduk: Osing, Jawa, Madura, Bali, Arab, Cina, Bugis. Tidak ada lagi sekat. Yang tersisa hanyalah rasa memiliki bersama.

Saya pulang dengan langkah pelan. Angin malam menyentuh wajah saya, seperti tangan yang lembut. Di jalan, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang turun ke bumi. Saya merasa ditemani sesuatu yang tidak terlihat, tapi terasa.

Cinta, saya tahu, bukan lagi sekadar perasaan. Ia adalah upacara. Ia adalah doa yang harus dipelihara setiap hari.

Dan di Banyuwangi, doa itu diwariskan lewat Mupus Braen Blambangan.

Syafaat
Ketua Lentera Sastra Banyuwangi

Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print
Berita Sebelumnya Langkah Nyata PLN Icon Plus Perkuat Keamanan Aset dan Perluas Layanan Konektivitas
Berita Baru Update Journalism 360 Hadir di Surabaya: Promedia Ajak Insan Pers Menuju Model Bisnis Media Masa Depan: Berkelanjutan Dengan Mengedepankan Kolaborasi
Leave a comment Leave a comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Stay Connected

235.3kFollowersLike
69.1kFollowersFollow
11.6kFollowersPin
56.4kFollowersFollow
136kSubscribersSubscribe
4.4kFollowersFollow
- Advertisement -
Ad imageAd image

Berita Yang Mungkin Anda Cari :

Opini

Miras & Narkotika, Bukan Sekadar Larangan Agama

23/09/2025
Opini

Korupsi Makan-Minum Fiktif: Hidangan Busuk dari Dapur Birokrasi

21/09/2025
Opini

Ayat-ayat Tuhan di Langit Jember

16/09/2025
Opini

Perombakan 5 Menteri Kabinet Merah Putih : Implikasi Terhadap Stabilitas Politik Kebangsaan

10/09/2025
Show More
Media Indonesia TimesMedia Indonesia Times
Follow US
© 2022 PT. Media Blambangan News | Media Indonesia Times
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?